This is my an article that was published at Kompas, leading Indonesian daily news paper:
KOMPAS - Senin, 17 Apr 2006 Halaman: 50
PELANGI BERTEBARAN DI VICTORIA FALLS
Oleh M Nasir
Mungkin ada yang mengira Victoria Falls berada di kawasan Puncak,
Jawa Barat, di mana banyak produk properti diberi nama kebarat-
baratan. Victoria Falls yang dimaksud di sini juga bukan di Barat,
tetapi di Benua Afrika, tepatnya di Zimbabwe.
Victoria Falls, nama sebuah kawasan di mana terdapat air terjun
raksasa yang menjadi mata dagangan utama Zimbabwe dalam dunia
turisme. Begitu sangat getol Zimbabwe menawarkan Victoria Falls,
membuat Zimbabwe yang pada tanggal 18 April ini merayakan hari
kemerdekaan identik dengan Victoria Falls. Seperti halnya Indonesia
dengan Bali.
Barang-barang cetakan yang beredar dan dibagi-bagikan kepada
turis, gambar air terjun Victoria Falls selalu mendominasi. Pada
bagian gambar bertuliskan "Zimbabwe Africa's Paradise". Padahal,
Zimbabwe punya sejumlah wisata alam lainnya yang menakjubkan, seperti
Hwange National Park yang terkenal dengan binatang-binatang liarnya
dan situs purbakala di Masvingo.
Nama Victoria Falls tampaknya tidak akan diganti oleh Pemerintah
Zimbabwe meskipun nama besar itu tidak mencerminkan nasionalisme
bangsa Zimbabwe. "Victoria Falls tidak diganti karena sudah mendunia,"
kata Ivanhoe M Gurira, Principal Press Secretary di Kementerian
Informasi dan Publisitas Zimbabwe.
Bila Victoria Falls diganti nama baru, akan memakan waktu lama
untuk memperkenalkan pada dunia. Berbeda dengan nama-nama wilayah
lainnya, termasuk nama negaranya yang sudah terlebih dulu diganti
dengan nama yang berasal dari bahasa setempat, yakni Shona dan
Ndebele. Penggantian nama-nama Barat menjadi nama lokal itu dilakukan
sejak negara itu merdeka dari Inggris tahun 1980.
Nama Zimbabwe sekarang ini adalah nama baru hasil nasionalisasi.
Zimbabwe yang berarti rumah yang terbuat dari batu itu dulu bernama
Southern Rhodesia.
Akan tetapi, apa pun nama yang diberikan pada suatu kawasan,
tetap saja tidak mengubah kondisi alam itu sendiri. Keindahan alam
tidak akan terdongkrak atau terkurangi oleh nama-nama pilihan manusia
itu.
Kawasan Victoria Falls yang merupakan perpaduan antara hutan
liar, air terjun, tebing batu, dan sungai sejak diperkenalkan pada
dunia Barat pada tahun 1855 oleh David Livingstone tetap saja memikat
pengunjungnya.
Burung dan jangkrik
Pintu belakang kamar Resort Elephant Hills di Victoria Falls kami
buka ketika masih pagi buta. Udara dingin pun menyergap ke dalam
kamar. Ketika itu di luar masih tampak gelap, tetapi burung-burung
sudah berkicau. Ada yang mencicit keras, ada yang meraung-raung
seperti suara binatang, dan ada yang menjerit-jerit seperti bayi
menangis. Suara jangkrik pun bersahut-sahutan.
Sekitar satu jam kemudian langit di timur mulai memerah. Pucuk-
pucuk pohon hutan mulai tampak. Burung-burung mulai terlihat
beterbangan. Matahari mulai menyembul sedikit demi sedikit dengan
sinarnya yang memerah.
Di arah agak selatan terlihat kabut tebal yang menyelimuti
daratan itu. Kami yang belum pernah tahu seluk-beluk kawasan itu
memperkirakan, kabut putih itu adalah lokasi air terjun Victoria
Falls. Dan, ternyata benar.
Kabut tebal air terjun itu terlihat dari jarak sekitar empat
kilometer dari resor yang menampung banyak wisatawan dari Asia itu.
Pada siang hari, rombongan dari Metro TV, Radio Republik Indonesia
(RRI), Koran Tempo, dan Kompas menuju ke arah air terjun.
Dengan menggunakan sebuah bus, rombongan dipandu seorang
pengemudi yang fasih berbahasa Inggris dan mampu menjelaskan apa yang
terlihat di kiri dan kanan jalan. Pengemudi yang berbadan kurus dan
berkulit hitam itu bernama Elias.
Di jalan tikungan di sebuah hutan belantara, Elias menghentikan
busnya. Ia minta semua penumpangnya turun untuk diberi penjelasan
adanya sebuah pohon baobab besar di pinggir tikungan jalan beraspal
itu. Ia menjelaskan bahwa pohon itu konon sudah berusia 1.500 tahun.
Daun pohon itu bila direbus dapat diminum untuk menyembuhkan
malaria. Pohon besar itu dikurung dengan pagar kawat agar tidak
didekati oleh turis. "Kalau tidak dipagar, lama-kelamaan pohon ini
rusak," tuturnya.
Pelangi di bawah jembatan
Begitu sampai di pintu gerbang taman nasional, National Park and
Wild Life yang mengurus air terjun Victoria Falls, kami ditawari jas
hujan oleh orang-orang yang membuka kios di sekitar pintu masuk air
terjun. Begitu pula pengunjung lain.
Pengunjung sempat terkaget-kaget ketika ditawari jas hujan karena
saat itu tidak ada mendung. Matahari pun bersinar terang dan langit
tampak biru. Setelah diberi penjelasan oleh pemandu bahwa pengunjung
pasti basah karena air akan tiba-tiba mengguyur dari atas layaknya
hujan, berulah mereka menyewa jas hujan. Hal itu ternyata benar,
begitu kami mendekat ke tebing jurang Sungai Zambezi dan tampak air
terjun yang menggerojok tebing dengan suara gemuruh.
Air terjun Victoria Falls merupakan yang terbesar di dunia. Salah
satu keajaiban dunia tampak di lokasi ini. Dari luas bibir gerojokan
sepanjang 1.700 meter, air dengan bebas terjun ke jurang Sungai
Zambezi sedalam sedikitnya 100 meter.
Luapan air terlempar ke angkasa sejauh ratusan meter, membentuk
kabut, dan jatuh bagaikan hujan. Tiba-tiba saja kawasan itu dilanda
hujan deras, dan kadang-kadang rintik-rintik tergantung angin, terus
bergulung-gulung di kawasan ini.
Air terjun dapat dilihat dari tebing sungai sepanjang sekitar 2,5
kilometer. Di sepanjang jalan menuju tebing, hujan yang bersumber
dari semburan air yang tertiup angin tidak henti-henti. Hal ini
membuat pengunjung sulit untuk mengeluarkan kamera guna memotret.
Padahal, di depan mata berjarak antara tiga hingga lima meter
terlihat lingkaran pelangi.
Di jalan depan kaki tampak pelangi, di samping kiri dan kanan pun
muncul pelangi, dengan lingkaran berbagai ukuran. Bahkan, di bawah
sungai sekitar Jembatan Zambezi yang menghubungkan perbatasan antara
Zimbabwe dan Zambia, pelangi tampak nyata.
Melihat begitu banyak pelangi yang bertebaran dalam berbagai
ukuran, kami mengedip-ngedipkan dan membelalakkan mata, seakan-akan
tidak percaya dengan pandangan mata sendiri. Benarkah ini pelangi?
Ini kehidupan nyata di Victoria Falls pada awal April 2006.
Rasa kagum sulit diungkapkan dengan kata-kata. Rasanya tidak
cukup kata-kata kita untuk mengurai kembali pengalaman empiris selama
menyusuri Victoria Falls. Kesulitan mengungkap rasa itulah yang
mendorong James Pardede, Direktur Kemitraan Media Departemen
Komunikasi dan Informatika RI bertanya, "Bagaimana wartawan media
cetak mengungkapkan pengalaman di Victoria Falls?"
Pertanyaan itu dilontarkan kepada beberapa wartawan yang
melakukan perjalanan jurnalistik ke Victoria Falls bersama dirinya.
Wartawan pun tak memberi jawaban yang memuaskan. Memang, pengalaman
dari hasil membaca tidak sehebat ketika berkunjung langsung ke lokasi.
Karena itu, banyak orang tidak puas dengan membaca laporan media,
selebaran-selebaran yang berisi cerita dan gambar-gambar Victoria
Falls. Ketika Kompas tiba di Victoria Falls, di lokasi sudah ada
rombongan turis dari China, Jepang, dan Timur Tengah.
Mereka ingin meraih pengalaman langsung yang mendebarkan dari
daratan Zimbabwe yang eksotis, dan banyak yang masih belum terjamah
rekayasa tangan-tangan pembangunan.
Harga jadi penghalang
Ada saran penting untuk turis yang memasuki kawasan Victoria
Falls. Tanyakan terlebih dulu biaya atau harga apa pun, termasuk
ketika membeli suvenir. Persoalannya, pemerintah setempat belum mampu
mengendalikan harga-harga di Victoria Falls.
Untuk tarif pulsa telepon Jakarta-Victoria Falls, pihak Resort
Elephant Hills mematok tarif 20 dollar AS per menit. Jika kita
menelepon tiga menit, biaya pulsa yang harus dibayar Rp 60 dollar AS
(atau setara Rp 600.000, dengan kurs per 1 dollar Rp 10.000).
Padahal, di sebuah hotel di Kota Harare, tarif telepon Harare-Jakarta
cuma dua dollar AS per menit.
Tentang harga-harga yang tidak masuk akal itu dikeluhkan juga
oleh delegasi media Malaysia yang berkunjung ke Victoria Falls. Ravin
Ravichandran, pimpinan delegasi media Malaysia, menyampaikan harga-
harga yang gila-gilaan di Victoria Falls itu di depan pimpinan
OtoritasTurisme Zimbabwe (The Zimbabwe Tourism Authority/ZTA),
Karikoga Kaseke.
Kaseke mengatakan, pihaknya sedang menerapkan mekanisme untuk
meninjau kembali harga-harga di toko-toko suvenir dan hotel-hotel di
kawasan wisata. "Tidak ada negara yang serius dalam menangani turisme
membolehkan hal itu. Ini sebuah ilusi jika hanya karena Victoria
Falls sebuah keajaiban dunia, lalu harga-harga dimahalkan," kata
Kaseke seperti dikutip harian The Herald, 4 April 2006.
Jika harga-harga di Victoria Falls tetap tidak masuk akal, akan
menjadi penghalang turis masuk ke Victoria Falls yang tidak ditemui
di belahan bumi yang lain itu.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment